Perjalanan wisata kali ini menuju ke Tasikardi. Objek wisata yang masuk
ke wilayah Kecamatan Kramatwatu ini merupakan bagian dari rangkaian
kunjungan wisata ke situs-situs bersejarah Banten lama. Jika wisatawan
hendak Masjid Agung Banten melalui Pasar Lama Serang, maka Tasikardi yg
berada di tengah-tengah areal persawahan ini adalah lokasi terakhir yg
dilewati, yang kemudian bisa pulang atau keluar dari area wisata lewat
Kramatwatu. Tapi jika ingin mampir ke Tasikardi terlebih dahulu dari
rangkaian perjalanan wisata sejarah di Banten ini, maka bisa langsung
melalui jalur Kramatwatu dan berkeliling hingga pulang ke arah Pasar
Lama Serang.
Objek wisata yang berjarak sekitar 6 KM sebelah Barat Kota Serang ini
adalah nama sebuah tempat berupa danau atau waduk yg dibuat pada masa
Kesultanan Banten, yakni pada masa Sultan Maulana Yusuf. Kawasan wisata
berupa danau buatan (tasik=danau kardi=buatan) ini berbentuk melingkar
dan di tengahnya terdapat tempat peristirahatan Sultan Banten. Saat ini
Tasikardi dijadikan obyek wisata dan termasuk salah satu tempat
bersejarah Kawasan Wisata Banten Lama yang cukup ramai dikunjungi
wisatawan, terutama pada hari libur. Sejumlah hotel telah memasukan
kawasan wisata ini dalam paket wisatanya. Danau dengan luas sekitar 5
hektar yang seluruh dasar alasnya dilapisi dengan ubin bata ini di
tengahnya terdapat sebuah “pulau” berbentuk segi empat, yang pada masa
kejayaanya dulu digunakan sebagai tempat rekreasi keluarga sultan.
Wisatawan yang hendak menginjakan kaki di pulau buatan ini bisa
menempuhnya dengan perahu atau bebek-bebekan yang disewakan pengelola
objek wisata ini. Dalam catatan sejarah, pada masa kesultanan air
Tasikardi memiliki fungsi ganda. Selain untuk mengairi areal pesawahan
yang ada di sekitarnya, air ini juga dimanfaatkan untuk keperluan seisi
keraton Surosowon. Air yang dialirkan melalui pipa dari tanah liat ke
istana kesultanan di sebelumnya disaring di tempat penyaringan khusus
yang dikenal dengan sebutan pengindelan Abang (penyaringan Merah) dan
Pengindelan Putih (penyaringan Putih) Untuk bisa masuk Tasikardi,
pengunjung perlu merogoh kocek Rp 2.500 per orang. Keunggulan objek
wisata ini terletak pada keteduhan lokasinya.
Pohon-pohon rindang di sekeliling danau bisa menjadi pilihan wisatawan
untuk tempat berteduh sambil menikmati keindahan danau. Air danaunya
juga tidak pernah kering ataupun meluap, sehingga terlihat tenang demgan
alur mengikuti arah angin. Untuk tempat duduk, wisatawan bisa
memilihnya dengan duduk di bangku-bangku yang ada di beberapa sudut
pinggir danau atau menyewa tikar. Lokasi ini cocok untuk tempat wisata
keluarga sambil makan bersama, atau untuk kawula muda yang hendak
mencari tempat yang romantis.
Namun sayangnya, keindahan objek wisata ini belum ditunjang dengan
sarana jalan yang memadai. Sehingga kerusakan jalan menuju ke objek
wisata ini bisa mengganggu kenyamanan wisatawan.(Qizink La Aziva)
Qizink La Aziva
gawe umah kalawan kata lan carita
2015/09/15
Speelwijk, Benteng Peninggalan Belanda di Kawasan Banten Lama
Senja belum habis, ketika saya tiba di Benteng Speelwijk, di Kampung Pamarican, Desa Banten, Kecamatan Kasemen, akhir pekan silam. Tak sulit untuk sampai ke Speelwijk. Dari pusat Kota Serang, wisatawan yang hendak berwisata ke Benteng Speelwijk dapat menempuhnya dengan angkutan kota dengan jurusan Karangantu-Banten. Dari pasar Karangantu, wisatawan bisa melanjutkan perjalananya dengan menaiki ojek atau becak. Bagi pemilik kendaraan pribadi, selain melalui jalur Kota Serang, lokasi ini bisa ditempuh lewat jalur Kramatwatu. Sayangnya, jalan di jalur ini kurang mulus. Tapi wisatwan yang melewati jalur ini, bisa dihibur dengan beragam pemandangan yang cukup indah untuk berekreasi serta melintasi beberapa situs peninggalan Kesultanan Banten, seperti Danau Tasikardi atau tempat pengolahan air yang disebut pangindelan.
Suasana di benteng peninggalan kejayaan penjajah Belanda itu tampak sepi. Hanya ada beberapa anak kecil warga kampung setempat yang sedang asik bermain sepeda di sekitar bangunan yang berada di sebelah utara Masjid Agung Banten ini dengan jarak sekitar 500 meter. Tanah luas berumput di tengah benteng, dijadikan warga setempat sebagai lapangan bola dengan gawang dari bambu. Lapangan itu tampak lengang. Tak ada warga yang beraktifitas di sana. Di sekeliling benteng ini terdapat sejumlah makam orang-orang Eropa, terutama bangsawan dan prajurit penjajah yang tewas melawan laskar Kesultanan Banten. Sebagian makam ini tampak sudah rusak. Makam-makam dengan arsitektur Eropa, mempertegas benteng ini sebagai sisa kejayaan penjajah Belanda di ranah Banten. Yang menarik, ada sebuah makam dengan nisan bertuliskan angka 1769. Jika angka itu menunjukan usia kematian jenazah di dalam makam, maka usia makam itu sudah mendekati 3 abad!
Memasuki areal benteng, saya melewati terlebih dahulu sebuah jembatan yang melintasi sungai Cibanten. Dari jembatan ini, terlihat jelas rumah-rumah warga berdinding papan berjejer di bantaran sungai. Rumah-rumah itu terlihat kumuh, sangat kontras dengan kejayaan yang tersisa dari reruntungan benteng. Setelah melewati jembatan, saya tiba di pintu gerbang utama benteng yang dulunya sebagai bangunan pertahanan dan pemukiman penjajah ini. Di depan gerbang, tampak sebuah papan peringatan pemerintah yang menyebutkan bangunan tersebut sebagai benda cagar budaya yang dilindungi. Namun sayangnya, papan peringatan merusak banguan bersejarah itu tidak diindahkan pengunjung. Sejumlah coretan tangan jahil, terlihat menghiasi di beberapa sudut benteng.
Dalam catatan sejarah, benteng ini mulanya bekas benteng milik Kesultanan Banten yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Banten Abu Nasr Abdul Qohhar (1672 – 1687). Pada 1685, Kesultanan Banten diserbu penjajah Belanda dan menguasa Banten. Benteng itu kemudian direnovasi di atas reruntuhan sisi sebelah utara tembok keliling kota Banten. Benteng ini dirancang arsitektur yang sudah masuk Islam dan menjadi anggota kesultanan yang bernama Hendrick Lucaszoon Cardeel. Nama Speelwijk yang melekat pada benteng itu untuk menghormati Gubernur Jenderal Speelma. Di dalam benteng ini dahulu terdapat rumah komandan, gereja, kamar senjata, kantor administrasi, toko-toko kompeni, dan kamar dagang. Sebagian tembok yang masih tampak utuh merupakan bastion (ruang pengintai) yang terletak di atas tembok sebelah utara dengan kondisi yang mengkhawatirkan. Meskipun sudah tak utuh lagi, di sejumlah sudut benteng yang berada tak jauh dari bangunan vihara tua ini masih meninggalkan bentuk bangunan yang masih bisa dinikmati. Pada bagian utara, terdapat ruang bawah tanah yang diduga sebagai kamar tahanan khusus dan tahanan biasa. Tembok benteng, diduga mempunyai dua fungsi, yakni sebagai pertahanan dan pemukiman. Dulunya, di sekitar benteng yang melintasi sungai Cibanten ini terdapat tempat penarikan pajak bagi kapal yang singgah di pelabuhan Banten. Namun saat ini, kapal dan tempat penarikan pajak itu sudah tak ada. Yang tersisa saat ini dari Benteng Speelwijk adalah sebuah reruntuhan sisa kejayaan penjajah Belanda dalam menancapkan kekuasaanya di Banten. Sebagian bangunan benteng ini sudah rusak, tanpa ada perhatian dari pihak berwenang. Tapi bagaimanapun kondisinya, bertandang ke peninggalan sejarah ini bisa menambah wawasan pengunjung terhadap sejarah bangsa ini. Lebih enak lagi, bila menikmati reruntahan kejayaan Belanda ini sambil meneguk es kelapa muda atau kopi, yang disajikan dari warung-warung yang ada di pinggir benteng. Selamat berwisata!
Subscribe to:
Posts (Atom)